Senin, 23-06-2025
  • Selamat Datang di Website Resmi MA Ar Rosyaad Balong Ringinrejo Kediri

Strategi Dakwah Sunan Kalijaga

Diterbitkan :

By. Muh. Imam Sanusi Al Khanafi

Penyebaran Islam di Jawa tidak lepas dari usaha Walisongo yang secara tahap demi tahap mengenalkan ajaran Islam dengan pendekatan Kultural. Lewat proses asimilisasi dan sinkretisasi adat kebudayaan, serta tradisi keagamaan menjadikan Islam begitu mudah diterima, dan berbaur dengan tradisi budaya yang berkembang pada saat itu. Islam yang ditawarkan oleh Walisongo tidak sekedar dipahami secara tekstual, akan tetapi menyesuaikan dengan zaman. Walisongo tahu apabila kondisi peradaban di Jawa sudah mengalami perkembangan yang sangat pesat.

Dalam bidang agama/kepercayaan, masyarakat sudah mengenal ajaran tauhid ala Jawa yang terkenal dengan kapitayan. Anehnya, ajaran tersebut disalahpahami oleh sejarawan Barat sebagai penganut animisme-dinamisme. Selain itu, unsur-unsur ajaran hindu-budha juga sudah mulai merambah dan mengakar di berbagai kerajaan di Nusantara, khususnya Jawa. Di bidang politik, masyarakat sudah mengenal hukum perpolitikan, salah satu kitab yang dijadikan rujukan adalah ‘Negarakertagama’ karya Mpu Prapanca. Di bidang sosial, masyarakat sudah mengenal hukum sosial, salah satu kitab yang dijadikan rujukan adalah ‘Sutasoma’ karya Mpu Tantular.

Dengan majunya peradaban, kebudayaan hindu-budha, dan kapitayan yang sulit untuk dileburkan, perlunya strategi khusus menghadapi masyarakat di Nusantara, khususnya jawa yang kental dengan nuansa-nuansa mistiknya. Salah satu strategi yang ditawarkan oleh Walisongo yaitu dengan mempromosikan Islam dengan mengadopsi kebudayaan dan tradisi lokal. Golongan Walisongo yang paling dominan dalam menyebarkan Islam melalui proses adopsi adalah Sunan Kalijaga.

Dalam Atlas Walisongo, Sunan Kalijaga termasuk Wali yang memiliki cakrawala pengetahuan yang sangat luas dalam bidang dakwah dibanding dengan Walisongo lainnya. Pengaruhnya di kalangan masyarakat sangatlah besar (Sunyoto: 2018). 

Proses penyebaran Islam yang dilakukan Sunan Kalijaga pada dasarnya ditentang oleh Sunan Giri, yang menganggap ajaran tersebut mengandung unsur mencampuradukkan antara ajaran Islam dengan adat dan budaya lama. Sehingga, ajaran tersebut takutnya disalahpahami oleh masyarakat setempat. Sunan Kalijaga menghargai pendapat yang ditawarkan-nya. Sebab, setiap Walisongo memiliki strategi dan metode sendiri dalam menyebarkan Islam. Sunan Kalijaga memiliki pertimbangan lain dengan sistem dakwah yang ditawarkannya. Ia membiarkan dulu adat-adat yang sukar untuk dirubah, apalagi dengan kekerasan dan paksaan, justru menjadikan Islam terkesan memaksa dan radikal. Adat yang sekiranya bertentangan dengan Islam secara sedikit demi sedikit dileburkan dengan memasukkan unsur-unsur ajaran Islam. Cara ini terkesan membutuhkan waktu yang lama, paling tidak ajaran-ajaran Islam yang masuk dalam sendi-sendi masyarakat bisa mengakar kuat. Ia paham betul, apabila Islam yang disebarkannya belum sempurna, pasti suatu saat ada yang menyempurnakannya.

Dalam Jurnal Kontekstualita, Sunan Kalijaga merupakan salah satu Wali yang memiliki peranan yang sangat besar dalam mengembangkan agama Islam di Nusantara, khususnya Jawa (Santosa dan Yudi: 2013) .

Dakwah yang ditawarkan Sunan Kalijaga terkesan fleksibel, dalam artian menyesuaikan budaya setempat dengan memasukkan nilai-nilai Islami. Bentuk toleransi Sunan Kalijaga terhadap ajaran pribumi adalah memperkenalkan Islam dengan media wayang. Hal ini merupakan strategi untuk menarik masyarakat agar tertarik dengan ajaran Islam. Jika ditelisik dari segi historis, wayang merupakan media yang disakralkan pada masa majapahit. Wayang digunakan untuk upacara ritual yang mengacu pada nilai-nilai budaya agraris yang menyatu dengan budaya keagamaan hindu-budha. Seni pertunjukan wayang dalam terminologi bahasa Jawa kuno dinamakan dengan wayang Wwang. Pertunjukan wayang Wwang dikaitkan dengan upacara spiritual ruwatan, yang bertujuan agar orang yang diruwat terhindar dari bencana-bencana gaib.

Dalam Atlas Walisongo, pertunjukan wayang sudah muncul sejak pra-hindu dengan istillah nama wayang Wwang. Bagi orang jawa, wayang memiliki hubungan yang sangat erat dengan unsur-unsur animistis. Karena pertunjukan wayang bersifat spiritualis. Adapun kedudukan dalang diposisikan setara dengan orang suci atau pendeta, bahkan Dewa-dewa (Sunyoto: 2018).

Dalam proses pagelaran wayang pra-Islam, ada beberapa ritual yang harus dilakukan sebelum kegiatan di mulai, antara lain: 1) Membutuhkan tempat yang sakral, 2) Pemain wayang dalam keadaan suci, 3) Pemain wayang menggunakan busana khusus, 4) Dalam acara pagelaran wayang diutamakan murni untuk tujuan spiritual, bukan yang lain, 5) Hari dan waktu pagelaran wayang juga harus ditentukan secara tepat (hari-hari sakral), dan 6) Diadakan sesajen untuk menambah kesakralan kegiatan tersebut.

Strategi dakwah dengan wayang merupakan sebuah solusi yang tentunya difikirkan secara matang-matang oleh Sunan Kalijaga. Walaupun solusi yang ditawarkannya menimbulkan masalah yang besar bagi Islam, ia memiliki prinsip tersendiri terhadap suksesnya misi dakwah yang disebarkannya, yakni ‘al-muhafadzatu ala qadimi as-shalih wa al-akhdzu bi al-jadidi al-ashlah’ (mempertahankan tradisi lama yang baik, dan mengambil tradisi baru yang relevan). Hal inilah yang menjadikan Islam bisa eksis di setiap penjuru Nusantara, khususnya Jawa.

Hal yang menarik mengenai sistem dakwah yang dihidangkan oleh Sunan Kalijaga ialah melakukan reformasi wayang yang sebelumnya berbentuk bayang-bayang manusia menjadi bentuk gambar dekoratif tidak menyerupai manusia. Tidak hanya itu, tema yang dihidangkan dalam pagelaran wayang juga dirubah, dalam epos cerita mahabarata, seorang tokoh Drupadi yang asalnya melakukan praktik poliandri, yakni menikahi pandawa lima dirubah dengan melakukan praktik monogami, dimana tokoh Drupadi hanya menikahi salah satu dari pandawa lima, yakni Yudistira.

Dikisahkan, dalam proses Islamisasi kisah Mahabarata, Drupadi ditokohkan sebagai perempuan utama yang hanya menjadi permaisuri Yudistira, saudara tertua pandawa, Raja Amarta. Modifikasi dari kisah Mahabarata yang asli merupakan upaya perombakan setting budaya dan tradisi yang sesuai dengan ajaran Islam (Agus Sunyoto: 2018).

Dakwah melalui pewayangan merupakan metode yang efektif, dan sesuai dengan konsumsi masyarakat pada saat itu. Keberhasilan Sunan Kalijaga menyebarkan Islam merupakan upaya yang sesuai dengan prinsip dan ajaran yang diterapkan oleh baginda Nabi Muhammad SAW. Ia mengetahui situasi dan kondisi masyarakat pada saat itu. Bentuk penyajian dakwah yang disampaikannya bisa di rekonstruksi dari tidak menarik menjadi menarik. Pendekatan yang dilakukannya tidak hanya menyentuh lubuk hati, akan tetapi mampu mengubah mind seat yang didakwahi. Tidak hanya itu, ia mampu menghadirkan Islam tanpa adanya kekerasan. Menghadapi kelompok seperti kapitayan, hindu, dan budha, ia tetap berpegang teguh pada etika dakwah yang sesuai dengan yang digariskan oleh Allah swt. Dalam firman-Nya,

Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.”(Qs. an-Nah: 125)

Berdasarkan ayat di atas, ada tiga etika yang harus dipahami setiap pendakwah dalam menyebarkan Islam, antara lain: pertama, menyerukan dengan cara hikmah (bijaksana), mauidhah al-hasanah (suri tauladan yang baik), dan mujadalah ( penyampaian dan bantahan argumen dengan etika yang baik). Seyogyanya, cara penyampaian dengan paksaan harus dihindari, supaya tidak menimbulkan permusuhan dan percekcokan antar golongan. Justru, emosionalitas dan rasionalitas yang didakwahi perlu disentuh dengan kasih sayang, agar penerimaan dan pemahaman Islam yang dihidangkan bisa ditelan dengan enak, tanpa unsur paksaan.

Sunan Kalijaga sangat bijak terhadap dakwah yang disampaikan kepada umatnya. Ia sangat menghargai budaya dan tradisi masyarakat setempat. Prinsip ajaran yang disampaikannya tidak mendahulukan nahi munkar (melarang kemungkaran), akan tetapi mendahulukan amar ma’ruf (menyuruh kebaikan). Jika ajaran nahi munkar didahulukan, tentunya kurang manusiawi, jusru akan mengusik budaya dan tradisi masyarakat setempat. Dengan sistem dakwah yang ditawarkan, akan muncul persepsi dari masyarakat apabila pola yang diterapkan sangatlah manusiawi, dihargai dan dihormati. Sehingga, mereka akan meyakini apabila prinsip yang diajarkan tidak menyinggung komunitas yang didakwahi.

Ajaran-ajaran Islam yang dihidangkan Sunan Kalijaga alangkah baiknya perlu dijadikan referensi oleh para da’i dan majlis dakwah lainnya. Pemahaman lingkungan sosial dan latar belakang komunitas yang didakwahi harus betul-betul dicermati dan dipahami. Setiap tradisi, keadaan, kebiasaan dan kebudayaan yang didakwahi belum tentu sesuai dengan kondisi yang sedang kita alami. Prinsip ajaran Islam yang ditawarkan olen Sunan Kalijaga tidaklah menyinggung komunitas di sekitar, melainkan mampu berbaur dan saling melengkapi satu sama lain. Dakwah yang santun, etis, dan humanis merupakan hidangan yang empuk bagi penikmat ajaran Islam, terutama bagi yang belum mengenalnya. Darinya, kita bisa belajar memahami Islam dengan pendekatan Fenomenologi, Sosiologi dan Psikologi. Selain itu, pendekatan persuasif, edukatif, dan efektif sangatlah dibutuhkan. []

0 Komentar

Beri Komentar

Balasan

Penulis : ma-arrosyaad.sch.id

Tulisan Lainnya

Oleh : ma-arrosyaad.sch.id

Menulis Butuh Proses dan Perjuangan

Video Terbaru

Info Sekolah

MA AR ROSYAAD

NSPN : 20580003
Jl Marabunta 327 Balong Ringinrejo Kediri
TELEPON +6285815382770
EMAIL ma.arrosyaad327@gmail.com
WHATSAPP +62-85815382770