By. Muh. Imam Sanusi Al Khanafi
Saat diskusi kajian ilmu hadis di kelas, penulis memberikan warning bagi siswa-siswi agar tidak ceroboh dalam memahami hadis. Apalagi sekedar melihat di media sosial, seperti tiktok, instagram, twitter, facebook, ataupun youtube, tanpa dianalisa kredibilitas hadisnya, apakah bisa dipertanggungjawabkan ataupun tidak. Kemudian secara kualitas hadis bisa maqbul (diterima) atau mardud (ditolak). Apalagi hanya mencantumkan lafadz qala rasulullah, tanpa disharing terdahulu lafadznya. Anehnya, lafadz tersebut langsung dijadikan status dengan mengatasnamakan nama hadis. Padahal yang dishare bukan hadis. Sehingga bisa membahayakan diri sendiri ataupun masyarakat. Untuk mengantisipasi kesalahan dalam mengidentifikasi kualitas hadis, ada beberapa cara untuk menganalisa otentisitas hadis, diantaranya dengan kajian takhrijul hadis dan maanil al-hadis.
Dalam diskusi tersebut, ada segelintir pertanyaan menyangkut kepemimpinan perempuan dalam tinjauan hadis. Memang menarik, mengingat isu-isu tersebut saat ini menjadi topik yang masih hangat untuk didiskusikan dalam dunia akademisi maupun non-akademisi. Banyaknya anggapan kedudukan perempuan telah dirampas dengan halus atas nama adat dan agama. Khususnya di masyarakat desa, masih ada yang membudayakan pemimpin harus laki-laki. Dengan alasan, logika laki-laki lebih baik daripada perempuan.
Budaya subordinasi antara laki-laki dan perempuan masih mengakar kuat di tengah-tengah masyarakat. Kesalahpahaman dalam memahami teks agama dan taklid buta, menjadi penyebab utamanya, terutama memahami hadis kepemimpinan perempuan. Dalam hadis ini, Nabi Saw bersabda:
لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ ولَّوْا أمْرَهُم امْرَأَةً
Tidak akan sukses suatu kaum yang menyerahkan (untuk memimpin) urusan mereka kepada Perempuan.(HR. Bukhari)
Dalam pernyataan di atas, hadis ini dijadikan media untuk menjatuhkan harkat dan martabat perempuan. Karena secara kualitas hadis, riwayat yang berasal dari Imam Bukhari jelas dikatakan shahih. Hadis ini juga diriwayatkan oleh Imam Muslim, Tirmidzi, An-Nasa’i, dan Ahmad Ibn Hanbal. Dengan banyaknya yang meriwayatkannya menjadikan otentisitas hadis ini secara sanad sudah final keshahihannya. Namun secara redaksi matan, apabila hanya dipahami secara parsial dan tekstual justru kurang benar. Karena bisa menyebabkan hilangnya Islam yang rahmatal lil alamin.
Pemahaman hadis tidak hanya dipahami secara apa adanya (normatif-dogmatif). Kemudian ditelan secara mentah-mentah, tanpa menggunakan metode yang lain untuk memahami maksud dan tujuan diturunkannya hadis ini. Pendekatan historis perlu dilakukan untuk mengaitkan redaksi hadis dengan situasi sosial dan kultural dimana hadis ini diturunkan. Pendekatan model ini sebenarnya sudah diterapkan oleh muhaddisin sejak dahulu, yaitu dengan hadirnya ilmu asbabul wurud (sebab-sebab mengapa Nabi Saw menuturkan sabdanya dan waktu menuturkannya).
Pendekatan ini mengidentifikasi dengan pertanyaan, mengapa Nabi Saw bersabda demikian ? Bagaimana setting historis sosio-kultural masyarakat dan politik pada saat itu ? Bagaimana proses terjadinya suatu peristiwa saat itu ? Tidak hanya itu, pendekatan sosiologis juga dibutuhkan untuk mengungkap beberapa faktor sosiologis kenapa Nabi Saw melarang demikian.
Untuk menjawab beberapa pertanyaan tersebut, Muhammad al-Ghazali (pakar hadis dari Mesir) dalam kitabnya memberikan argumentasi tata cara memahami hadis, untuk mendapatkan makna yang tepat dari penjelasan Nabi Saw tidak hanya terfokus pada keshahihan sanad. Namun juga perlu mengetahui sejarah dan konteks sosial masyarakat yang dituju di saat hadis ini muncul. Fakta sejarah menunjukkan munculnya hadis ini dikala peristiwa pemerintahan Persia yang dikuasai oleh sistem monarki otoriter yang tidak mengenal musyawarah. Tidak boleh ada pendapat yang bertentangan, dan hubungan antara orang-orang dengan diwarnai bahasa yang buruk. Seorang laki-laki bisa saja membunuh ayah atau saudaranya demi kepentingan pribadinya, dan rakyat hidup dalam kondisi yang kacau (Sunnah Nabawiyyah Baina Ahli al Fiqhi wa Ahli al Hadis, Libanon: Darul Kitab Al Misri, 2012, h. 72).
Di saat itu pula tentara Persia kalah di hadapan tentara Romawi yang menguasai tanah Persia dan mengambil wilayahnya sedikit demi sedikit. Saat itu, komando militer dijalankan oleh seorang pemimpin yang terjebak dalam berbagai kejahatan. Akan tetapi, kondisi politik dan sistem pewarisan di negeri itu membuat masyarakat dan negara diperintah oleh seorang anak perempuan yang tidak tahu apa-apa. Oleh karena itu, Nabi Saw menggambarkan keadaan itu dengan perkataan bijaknya yang jujur, sebagai cerminan dari kondisi yang ada. Seandainya urusan itu diatur dengan musyawarah di Persia, dan jika perempuan yang memimpin memiliki kualitas seperti “Golda Meir” (mantan Perdana Menteri Israel) yang mampu mengambil keputusan militer secara bijak, maka komentarnya akan berbeda dengan situasi yang sedang berlangsung (Sunnah Nabawiyyah Baina Ahli al Fiqhi wa Ahli al Hadis, Libanon: Darul Kitab Al Misri, 2012, h. 72).
Dari peristiwa tersebut munculnya sabda Nabi Saw,” Tidak akan sukses suatu kaum yang menyerahkan (untuk memimpin) urusan mereka kepada Perempuan.” Akibat tradisi di Persia selalu menetapkan kepemimpinan berlaku untuk laki-laki dengan pemerintahan yang otoriter tanpa kenal musyawarah. Namun, di saat pemberontakan tentara Romawi putra mahkota gugur di medan perang, maka secara tidak langsung estafet kepemimpinan diteruskan oleh seorang putri, karena penerusnya yang laki-laki sudah gugur. Pada akhirnya, tradisi yang selama ini kepemimpinan dipegang oleh laki-laki karena dianggap superior, dengan berat hati harus diteruskan oleh pemimpin perempuan yang saat itu dianggap inferior, karena tidak tahu apa-apa terkait pemerintahan.
Dalam kondisi setting sosio-historis demikian, maklum kepemimpinan tidak akan sukses dipimpin oleh perempuan. Dengan beberapa alasan, pertama, kepemimpinan perempuan tidak terbiasa. Karena tradisi di Persia dengan pemerintahan otoriter dan tanpa mengenal musyawarah selalu menjadikan laki-laki sebagai pemimpin. Kedua, ketidakmampuan perempuan dalam memimpin. Artinya, sangat mustahil pemerintahan akan maju apabila seorang pemimpin tidak tahu cara memimpin. Selain itu, syarat ideal pemimpin adalah kewibawaan, disamping menguasai pengetahuan leadership. Berbeda dengan ratu Persia yang cenderung tidak dihargai oleh masyarakat. Karena dianggap belum cakap dalam dunia kepemimpinan. Sehingga di saat pemimpin tidak dihargai, maka kepemimpinan juga tidak akan berjalan sukses.
Muhammad al-Ghazali juga berpendapat, perempuan layak menjadi pemimpin apabila memiliki kemampuan dalam ilmu leadership. Seperti Ratu Saba yang berhasil memimpin kaumnya menuju iman dan kemakmuran dengan kecerdasan yang disertai dengan kebijaksanaan. Hal ini justru diabadikan dalam al Qur’an dalam QS. An-Naml: 23 (Sunnah Nabawiyyah Baina Ahli al Fiqhi wa Ahli al Hadis Libanon: Darul Kitab Al Misri, 2012, h. 73):
إِنِّی وَجَدتُّ ٱمۡرَأَةࣰ تَمۡلِكُهُمۡ وَأُوتِیَتۡ مِن كُلِّ شَیۡءࣲ وَلَهَا عَرۡشٌ عَظِیمࣱ
Sesungguhnya aku mendapati seorang wanita yang memerintah mereka, dan dia dianugerahi segala sesuatu serta memiliki singgasana yang besar.
Dari pernyataan di atas, pemahaman hadis tidak cukup hanya terpacu pada keshahihan sanad dan matan, namun juga diperlukan asbabul wurud guna melihat setting sosio-historis turunnya sebuah hadis Nabi Saw. Setelah itu, baru dikontekstualisasikan dari era munculnya hadis dan ditarik ke era sekarang. Apakah terdapat relevansi atau tidak. Apakah hadis ini masuk kategori al-ibrah bi-umumi al-lafdzi la bi-khususi as-sabab (yang dijadikan pegangan ialah keumuman lafadz, bukan kekhususan sebab) atau al-ibrah bi-khususi al-lafdzi la bi-umumi as-sabab (yang dijadikan pegangan ialah kekhususan sebab, bukan keumuman lafadz). Adapun bila suatu hadis tidak terdapat asbabul wurudnya bisa menggunakan asbabul wurud ammah (pendekatan historis, sosiologis, dan antropologis).
Bisa disimpulkan, larangan perempuan tidak sukses sebagai pemimpin bukan berarti melihat dari segi identitasnya, melainkan lebih menekankan pada aspek leadership-nya. Sehingga laki-laki yang tidak berkompeten dalam leadership juga tidak akan sukses. Kepemimpinan perempuan masuk dalam kategori al-ibrah bi-khususi al-lafdzi la bi-umumi as-sabab. Dengan alasan, hadis ini muncul untuk kaum tertentu, bukan untuk semua kaum. Walaupun hadis ini bersifat kasuistik (bil khususi as-sabab), apabila diplikasikan di era sekarang dibolehkan dengan syarat perempuan tidak mampu. Sebaliknya, apabila perempuan mampu dalam leadership, maka hadis ini tidak bisa diterapkan. Wallahu a’lam bi ash-shawab
Beri Komentar